Frustasi menjadi Siswa Terbuang
Langit pagi di sekolah tampak cerah, namun hatiku justru sebaliknya. Kenangan menginjakkan kaki di kelas 3 IPA 4 masih segar dalam ingatanku, menjadi satu-satunya siswa yang “terbuang” dari kelompok teman-teman yang kukenal baik selama dua tahun terakhir.
Mereka semua ditempatkan di 3 IPA 1, dan aku sendirian di 3 IPA 4, kelas yang terkenal dengan siswanya yang kutu buku dan introvert. Betapa frustrasinya aku ketika mengetahui hal itu.
Rasanya seperti ada yang sengaja memisahkanku dari teman-teman. Hal paling menyakitkan, dari Sandra, pacarku. Kami sudah dekat sejak tahun kedua, dan aku tidak mengerti kenapa dia juga ditempatkan di kelas yang berbeda? Menyedihkan!
Mengetahui itu, aku tidak tinggal diam. Setidaknya, ketika kalian membaca tulisan ini, juga teruntukmu Sandra, aku bukan tipikal laki-laki yang mudah pasrah dengan keadaan.
Hari itu, aku mendatangi ruang guru, menuntut penjelasan, berusaha keras agar bisa dipindahkan Kembali bersama yang lain, namun respon pihak sekolah tetap sama.
“Keputusan ini sudah dipertimbangkan secara matang. Tidak akan ada perubahan.”
Hari-hari di kelas baru terasa seperti mimpi buruk. Setiap kali aku memasuki kelas, tatapan dingin dari siswa lain seolah mengatakan bahwa aku tidak pantas berada di sana.
Mereka lebih suka memecahkan rumus-rumus yang rumit, buku-buku filsafat atau mendiskusikan teori-teori ilmiah yang aku tidak tahu sama sekali.
Aku seperti ikan yang terlempar ke darat, tidak mampu bernapas di lingkungan asing ini. Namun, aku beruntung. Akhirnya aku mendapatkan teman baru dalam tempo dan waktu sesingkat-singkatnya. Mereka bukan hanya teman, tapi adalah sekutu. Kami adalah tiga orang siswa lain di kelas ini yang juga merasa seperti siswa buangan.
Mumpung aku ingat, sebaiknya kusebutkan saja nama-nama mereka lengkap dengan karakternya. Satu hal yang kupahami adalah, ingatan bisa lupa, tapi catatan akan mudah mengingatkan kita.
Pertama, dia adalah si Memet yang tampak tidak peduli pada apa pun kecuali bentuk tubuhnya yang terobsesi sebagai tentara.
Kedua, Slamet. Si pendiam yang lebih suka duduk di pojok kelas sambil menggambar buku tulisnya daripada mencatat pelajaran dan si paling aktif.
Ketia, Gigih. Dia suka sekali membuat para guru kesal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal.
Kami berempat seolah membentuk kelompok alamiah, terikat oleh ketidaknyamanan yang kami alami bersama. Kami mulai membuat masalah di kelas—bukan karena kami senang membuat masalah, namun lebih karena rasanya seperti satu-satunya cara untuk mengungkapkan rasa frustrasi.
Kami melontarkan lelucon selama pelajaran, mengerjai teman sekelas yang terlalu serius, dan bahkan bolos pelajaran bersama hanya untuk nongkrong di kantin sekolah diam-diam.
Awalnya tindakan kami menarik perhatian para guru, namun akhirnya mereka seperti menyerah dan membiarkan kami berempat “menghilang” ke pojok kelas.
Di luar kelas, aku masih berusaha menjaga hubunganku dengan Sandra, namun mulai sulit. Setiap kali kami ngobrol, seperti ada jarak di antara kami, jarak yang mungkin terbentuk sejak aku “dibuang” ke kelas yang berbeda.
Meski Sandra berusaha memahami, aku tahu hubungan kami tak lagi sama seperti sebelumnya. Dia dikelilingi teman-teman kelas IPA-nya, sedangkan aku hanya bersama Memet, Slamet, dan Gigih.
“Kenapa kita tidak keluar saja dari sekolah ini? Lagipula, mereka tidak peduli dengan kita,” tanya Memet dalam pengaruh asap obat nyamuk.
Gagasan itu seolah menggoda sejenak. Tapi kemudian aku sadar, masalahnya bukan pada sekolah atau teman-teman kami, tapi bagaimana kami memandang diri sendiri.
Selama ini aku merasa terbuang dan tidak berharga karena ditempatkan di kelas yang berbeda, namun kenyataannya aku malah membuang diriku sendiri.
Aku segera menimpali, "Tidak! Kita tidak perlu melarikan diri. Tapi mungkin kita harus berhenti menganggap diri kita sebagai orang buangan."
Ketiga temanku terdiam, menatapku bingung. Mereka kira aku kesambet demit pohon beringin saat jalan di Panglima Sudirman malam itu.
Mungkin itulah titik balik bagi kami hingga mulai menerima situasi ini, bukan sebagai hukuman, namun sebagai peluang untuk menemukan cara baru untuk beradaptasi.
Aku tak lagi merasa seperti orang buangan, dan meski hubunganku dengan Sandra tak seperti semula yang tiap jam bisa melihatnya di kelas yang sama.
Kita tetap menjadi “pembuat onar” hingga akhir tahun, namun dengan cara yang berbeda, kita melakukan perubahan dalam diri sendiri, bukan sekadar menimbulkan masalah. Faktanya, kami bisa memberikan warna yang berbeda di kelas yang sebelumnya sungguh monoton.
(Sebuah catatan dalam ingatan: Narwanto Kelas: 1-1 | 2-1 | 3 IPA 4)